Judul :
I Swasta setahun di Bedahulu
Pengarang :
A A Panji Tisna
Tema :
kisah cinta
Amanat :
lindungilah orang yang sangat kamu cinta
agar orang itu tetap sayang padamu
Tokoh
dan watak:
A.Tokoh
utama:
1.
I swasta : pemberani, bijaksana, baik,
pemaaf
B.Tokoh
pendamping
1. I Jadara : baik, pemberani
2. Sri Baginda Maharaja
Baliswari Gunapriyadarmapatmi : bijaksana, pemaaf
3. Arya Bera : iri , dengki, suku memfitnah
4. Ni Nogati : lembut,
baik, sopan
5. Ni Nogata : baik, lemah lembut
6. Arya Lancana : iri,
dengki, pembunuh
7. Ni Mergayawati : suka
menggoda
8. Ni Jasi : baik,
setia
9. I Lastiya : berhati lembut, baik
10. Seribudhi :
pemfinnah
C. Tokoh viguran
1. permaisuri
2. seorang tua
3. Da Gde Salem
4. indrapura
5. rombongan Arya Bera dan
kawan-kawan
6. peduduk desa
7. rombongan dari kerajaan
8. pengawal
9. Datuk Kakanda I Kulup
Bop
SETTING:
1.
TEMPAT : seting tempat pada novel ini cenderung
berada di pura-pura sekitar saraddha
2.
WAKTU : setting waktu di dalam novel ini sering
kali pada waktu pagi hari dan sore hari
3.
SUASANA : suasana pada novel ini sering
tegang dan kadang senang hal ini dikarnakan adanya perang
ALUR : bolak-balik
TAHAP
PERKENALAN
I Swasta jatuh cinta pada pandangan pertama. Karena hal itulah I
Swasta memutuskan menunda pergi ke Trunyan seperti tujuan awal, tetapi memilih
pergi ke Bedahulu.
TAHAP PENAMPILAN MASALAH
Hal
itu membuat Arya Bera dan Arya Lancana berang. Mereka segera menyebarkan
fitnah, bahwa I Semarawina dan I Jadara telah berbuat tidak senonoh dengan
kedua gadis itu pada saat upacara Pujawali di tanah suci Warampul.
TAHAP PUNCAK KETEGANGAN
Di
tengah letusan Gunung Batur itulah terjadi pertempuran antara pasukan Arya Bera
dengan rombongan dari kerajaan. Arya Bera dan rombongannya berhasil dikalahkan.
TAHAP KETEGANGAN MENURUN
Ni
Nogati meminta pada I Lastiya agar meminta ampun kepada Semarawina sebagaimana
dulu Datuk Kakanda I Kulup Bop, kakek Lastiya yang pernah memiliki dendam
terhadap nenek Semarawina
TAHAP
PENYELESAIAN
Setelah
demikian, Ni Nogati menyerahkan surat Baginda yang harus diserahkan kepada
Semarawina. Baginda memerintahkan kepada Semarawina memimpin pembuatan
bendungan air di Manasa dan mengirim semua pembiayaan bendungan itu. Utusan
yang membawa uang itu tidak lain adalah I Lastiya.
NILAI MORAL
Sebagai manusia kita harus selalu taat dalam
beribadah dan jangan pernah melawan tuhan
NILAI SOSIAL
Kita sebagai manusia sebaiknya saling tolong
menolong untuk mencapai sebuah cita-cita yang tinggi
NILAI PENDIDIKAN
Jadilah seorang yang bijaksana dalam
menentukan apapun dan jangan pernah kamu iri terhadap rezeki orang lain
NILAI ESTETIKA
Didalam buku ini terdapat kesenian dan adat
istiadat bali yang sangat indah sekali seninya
I Swasta Setahun di Bedahulu
Novel karya A.A. Pandji Tisna ini mengisahkan perjalanan hidup
seorang pemuda desa yang miskin hingga menjadi hulubalang istana kesayangan
sang raja dan permaisuri. Cerita berlatar daerah Bali ini diawali dengan perjalanan
I Swasta menuju Trunyan hendak mengunjungi saudaranya. Ketika ia beristirahat
di sebuah kandang kuda yang kosong karena kelelahan, ia tertidur. Ketika tidur
itulah I Swasta bermimpi didatangi oleh seorang tua yang menggendong anaknya.
Orang tua itu meminta pada I Swasta agar mau merawat anak perempuan itu.
Karena terasa hawa panas, I Swasta terbangun. Betapa terkejutnya
ia karena hawa panas itu berasal dari seekor harimau yang tiba-tiba masuk ke
kandang kuda kosong yang ia gunakan untuk beristirahat. Karena gelap, binatang
itu tidak melihat dirinya. Harimau itu tampaknya sedang marah karena ia
memporak-porandakan semua benda yang ada di dalam kandang itu. Betapa takutnya
I Swasta. Sebenarnya ia membawa senjata (tombak), sayang senjata itu ia letakkan
di luar kandang.
Ketika hari beranjak pagi, suasana menjadi terang, harimau itu
dapat melihat I Swasta. Harimau itu menarik-narik kain baju I Swasta. Dengan
perjuangan keras, I Swasta berhasil ke luar kandang. Segera ia menutup pintu
kandang sehingga harimau itu terkurung di dalam. Dengan senjata tombaknya, I
Swasta berupaya membunuh harimau itu. Darah mengucur dari tubuh harimau itu,
tetapi anehnya harimau itu tak juga berhasil dilumpuhkannya.
Tiba-tiba ada kilat menyambar, dan harimau itu menutup matanya
karena silau. Kesempatan itu segera dimanfaatkan oleh I Swasta. Dengan sekuat
tenaga, dihunjamkannya tombak yang dibawanya ke leher harimau itu, hingga
binatang itu pun tersungkur. Betapa terkejutnya I Swasta ketika tiba-tiba
harimau yang tersungkur dan bersimbah darah itu berubah wajud menjadi orang tua
seperti dalam mimpinya. Orang tua itu mengerang kesakitan sambil tetap
merangkul anak perempuan yang dibawanya. Semuanya sama persis dengan mimpi I
Swasta.
Segera saja I Swasta mencabut tombaknya dan mendekap orang tua
yang kesakitan itu. Karena merasa bersalah sekaligus kelelahan, I Swasta pun
pingsan. Ketika tersadar kembali, orang banyak sudah mengerumuninya.
Orang-orang kagum dan berterima kasih kepada I Swasta karena telah berhasil
membunuh Da Gde Salem, harimau siluman, yang selama ini telah meresahkan warga
desa. Banyak warga desa yang menjadi korban keganasan Da Gde Salem itu. Korban
terakhir adalah seorang anak perempuan.
Orang-orang kemudian mengangkut bangkai harimau itu, mengulitinya.
Kulit itu akan diletakkan di Balai Agung supaya orang-orang yang selama ini
memendam amarah pada harimau itu bisa melampiaskan dendamnya dengan
menginjak-injak kulit harimau itu. Karena dianggap orang sakti karena telah
berhasil membunuh harimau itu, I Swasta diminta memimpin upacara pengulitan
harimau.
Dalam perjalanan ke tempat upacara itu, I Swasta bertemu dengan
saudara sepupunya yang bernama I Jadara. I Jadara adalah orang yang ditugaskan
membunuh Da Gde Salem karena ia bergelar ”pembunuh binatang buas”. Mereka
berdua segera menuju ke Pura Sraddha. Dalam perjalanan ke pura, mereka bertemu
dengan rombongan Sri Baginda Maharaja Baliswari Gunapriyadarmapatmi yang juga
hendak pergi ke pura. Ketika melihat I Jadara, yang ditugaskan membunuh Da Gde
Salem, Sri Baginda Maharaja Putri segera menanyakan perihal tugas yang harus
dijalankan
I Jadara. Betapa kecewanya Sri Baginda Maharaja Putri mengetahui I
Jadara gagal membunuh harimau itu bahkan kedahuluan orang lain. Setelah terjadi
perdebatan antara Seribudhi yang memihak I Jadara dengan Arya Bera yang sangat
membenci I Jadara dan selalu berupaya menjatuhkannya, raja sampai kepada
keputusan bahwa I Jadara akan diampuni. Lebih-lebih, yang berhasil membunuh
harimau itu adalah I Swasta, yang masih saudara I Jadara.
Raja pun kemudian memberi I Swasta gelar I Semarawina dan diangkat
sebagai kepala laskar istana. Bukan itu saja, I Swasta diundang ke Bedahulu dan
akan dinobatkan sebagai hulubalang istana. Betapa gembiranya I Swasta. Tetapi
kegembiraannya bukan hanya karena anugerah yang diberikan raja, tetapi di
bedahulu, ia akan bertemu dengan Ni Nogati, perempuan cantik yang baru saja
dilihatnya dalam rombongan pengiring baginda. I Swasta jatuh cinta pada
pandangan pertama. Karena hal itulah I Swasta memutuskan menunda pergi ke
Trunyan seperti tujuan awal, tetapi memilih pergi ke Bedahulu.
Di Bedahulu, I Swasta diberi pakaian kain dodot lengkap dengan
keris buatan indrapura yang sangat bagus. Gelar I Semarawina pun disandangnya.
Tugas utamanya adalah mengantar orang yang hendak menghadap Sri Baginda. Dengan
demikian, ia akan lebih sering bertemu dengan Ni Nogati, gadis cantik yang
pernah dilihatnya. Ni Nogati ternyata memiliki adik yang bernama Ni Nogata,
orang kepercayaan Sri Baginda juga. Dengan demikian, pendekatan I Semarawina
kepada Ni Nogati berjalan lancar-lancar saja.
Ternyata, keinginan I Semarawina ini tidak disukai oleh Arya Bera
dan Arya Lancana, dua orang yang sejak awal tidak senang dengan I Jadara dan
kini bertambah tidak senang dengan I Semarawina. Pertama, karena Arya Bera juga
menginginkan Ni Nogati. Kedua, mereka juga iri dengan kedekatan dua I Jadara
dan I Semarawina dengan Sri Baginda.
Suatu saat, datanglah dua kakak beradik Ni Nogata dan Ni Nogati ke
rumah I Semarawina. Kedatangan mereka tentulah mengundang cemburu orang-orang
yang selama ini tidak senang dengan I Semarawina. Kejadian ini sudah bukan
rahasia di kalangan orang-orang istana. Karena kelicikannyalah Arya Bera dan
Arya Lancana berhasil memfitnah I Semarawina di depan Baginda. Kejadiannya berawal
dari upacara Pujawali yang diadakan pada bulan purnama di Tirta Warampul.
Ketika rombongan Baginda beristirahat setelah melakukan perarakan
dalam acara Pujawali, Arya Bera berupaya merayu Ni Nogati, sedangkan Arya
Lancana mendekati Ni Mergayawati, gadis yang diincar I Jadara. Rayuan-rayuan
mereka sudah kelewat batas sehingga dua orang gadis itu mendekati I Semarawina
dan I Jadara. Hal itu membuat Arya Bera dan Arya Lancana berang. Mereka segera
menyebarkan fitnah, bahwa I Semarawina dan I Jadara telah berbuat tidak senonoh
dengan kedua gadis itu pada saat upacara Pujawali di tanah suci Warampul.
Akibat fitnah itu, Baginda segera mengusir dua gadis abdi istana itu. Sementara
I Semarawina dan I Jadara ditugaskan untuk mengirim surat kepada mamanda baginda
di Sambiran. Untuk sampai ke Sambiran mereka harus melewati bukit Indrakilla,
bukit yang terkenal banyak harimaunya. Jika keduanya mati diterkam harimau,
berarti mereka berdua bersalah, tetapi jika keduanya selamat, mereka tidak
bersalah.
Dan benarlah. Di bukit Indrakilla mereka dihadang banyak harimau.
Tak lama kemudian harimau-harimau itu pergi dan selamatlah dua orang hulubalang
istana korban fitnah ini. Di kaki bukit, mereka bertemua dengan Ni Nogati, Ni
Mergayawati, dan Ni Jasi, kekasih I Lastiya. Tiba-tiba mereka dihadang oleh
utusan Ara Bera dan Arya Lancana. Segeralah terjadi pertempuran sengit. Karena
jumlahnya tidak berimbang, maka terlukalah I Semarawina dan I Jadara. Karena
kakaknya terancam, Ni Nogata segera membantu dan menyelamatkan Ni Nogati.
Sementara I Lastiya kekasih Ni Jasi juga datang membantu.
Akhirnya, fitnah Arya Bera, Arya Lancana, dan I Sukerta pun
diketahui raja. Berkat bantuan Ni Nogata dan I Lastiya, I Semarawina, I Jadara,
Ni Nogati, Ni Mergayawati, dan Ni Jasi dapat kembali ke istana. Raja pun
menjodohkan I Jadara dengan Ni Mergayawati dan diangkat sebagai kepala desa
Trunyan, sementara I Semarawina dengan Ni Nogati.
I Semarawina dan I Jadara yang ditugaskan Baginda untuk menangkap
rombongan Arya Bera dan kawan-kawan menyerbu rumah Arya Bera di Batur, tetapi
ternyata rumah itu sudah kosong. Tepat saat itu, peduduk desa sedang berdoa
kepada Dewa Agni yang sedang murka di gua Gunung Batur. Pada saat itu Gunung
Batur akan meletus. Di desa itu pula Arya Bera menghasut penduduk untuk melawan
penduduk Cintamani, Trunyan, dan desa lain.
Dalam perjalanan I Semarawina dan I Jadara bertemu dengan
Seribudhi yang telah memfirnah mereka berlumur darah. Ia mengabarkan bahwa Arya
Bera berhasil menculik Ni Nogati.. Tak lama berselang, Ni Nogata dan I Lastiya
juga menyusul mengabarkan perihal hilangnya Ni Nogati diculik Arya Bera. Di
tengah letusan Gunung Batur itulah terjadi pertempuran antara pasukan Arya Bera
dengan rombongan dari kerajaan. Arya Bera dan rombongannya berhasil dikalahkan.
I Semarawina dan rombongan kembali ke istana.
Baginda bermaksud menikahkan I Semarawina dengan Ni Nogati, tetapi
diam-diam Ni Nogati menolaknya, karena ternyata secara diam-diam pula, Ni
Nogati telah menjalin cinta dengan I Lastiya. Betapa sakita hati I Semarawina.
Ia nyaris bunuh diri menceburkan diri ke sungai dan beruntunglah bisa
diselamatkan oleh seorang pengawal. Karena cintanya telah kandas, I Semarawina
berniat meninggalkan Bedahulu kembali ke Manasa. Atas ijin Baginda,
berangkatlah I Semarawina menuju ke Manasa. Di tengah perjalanan, antara sadar
dan tak sadar, ia kembali melihat orang tua seperti mimpinya dahulu. Kini orang
tua itu membawa seorang anak yang keni telah menjelma menjadis eorang gadis
cantik. Dan gadis cantik itu adalah Ni Nogati. Orang tua itu mengatakan bahwa
dendam tiga turunan kepada I Semarawina telah terbalaskan.
Orang tua itu mengatakan bahwa ia sengaja menunggu I Semarawina
dengan menjelma sebagai harimau agar pemuda itu membunuhnya sehingga ia akan
memperoleh kemuliaan dan kebesaran. Namun, setelah cita-cita I Semarawina
hampir tercapai, orang tua itu mencabut segala kemuliaan pada diri pemuda itu.
Mendengar semua itu, marahlah I Semarawina. Ia menikamkan tombaknya pada orang
itu dan terbangunlah ia.
Betapa terkejutnya Semarawina ketika yang dilihatnya adalah Ni
Nogati yang menangis karena I Lastiya berlumur darah karena tombak Semarawina.
Dari penuturan Ni Nogati, tahulah dia bahwa raja sangat marah pada Ni Nogati
dan
I Lastiya karena menjalin
cinta secara diam-diam dan menolak cinta Semarawina. Dari cerita Ni Nogati
terungkap pula Ni Nogati menolak cinta suci Semarawina karena dirinya sudah
tidak suci lagi. Kesuciannya telah diberikan kepada I Lastiya.
I Lastiya ternyata belum mati. Ia masih bersuara meski sangat
emah. Ni Nogati meminta pada I Lastiya agar meminta ampun kepada Semarawina
sebagaimana dulu Datuk Kakanda I Kulup Bop, kakek Lastiya yang pernah memiliki
dendam terhadap nenek Semarawina. Mereka menginginkan agar dendam mereka
dibayar oleh cucu mereka. Lastiya mdenyembah pada Semarawina. Semarawina pun
luluh hatinya dan mengampuni semua kesalahan Lastiya. Bahkan Semarawina
mendoakan mereka berdua agar hidup bahagia dalam pernikahan.
Setelah demikian, Ni Nogati menyerahkan surat Baginda yang harus
diserahkan kepada Semarawina. Baginda memerintahkan kepada Semarawina memimpin
pembuatan bendungan air di Manasa dan mengirim semua pembiayaan bendungan itu.
Utusan yang membawa uang itu tidak lain adalah I Lastiya. Demikianlah novel ini
berakhir pada kembalinya I Semarawina ke Manasa setelah setahun ia mengalami
peristiwa luar biasa di Bedahulu. Di Manasa, ia merubah namanya kembali menjadi
I Swasta.***